JAKARTA.SWARAWANITA NET.-Pandemi Covid-19 bukan sekadar bencana kesehatan, namun juga bisa menyebabkan bencana ganda, bahkan majemuk, salah satunya adalah bencana ekonomi yang akhirnya memicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT tidak hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan instrumental dan intervensi negara, namun juga dibutuhkan pendekatan secara keagamaan. Oleh karenanya, peranan para tokoh agama dan organisasi keagamaan di tengah pandemi Covid-19 menjadi penting untuk memberikan dukungan psikososial kepada masyarakat.
“Tokoh
agama dan organisasi keagamaan mempunyai peranan yang sangat penting
dalam memberikan dukungan psikososial kepada masyarakat pada umumnya dan
kepada umat masing-masing agama pada khususnya. Tokoh agama dapat
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai stigma yang
muncul terkait Covid-19. Di samping itu, tokoh agama juga dapat
memberikan rasa tenang, nyaman, dan mendorong masyarakat untuk selalu
berdoa dan bersabar di tengah pandemi Covid-19,” ujar Deputi Bidang
Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Indra Gunawan pada Workshop Pelibatan
FORLAPPA (Forum Lintas Agama untuk Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak) dalam rangka mendukung Gerakan Bersama Jaga Keluarga
Kita (#Berjarak) yang diselenggarakan secara virtual dan diikuti oleh
sekitar 270 peserta.
Berdasarkan
data aduan Layanan Psikologi Sehat Jiwa (Sejiwa) yang masuk ke nomor
layanan pengaduan Kemen PPPA, pada 10 – 22 Mei 2020 terdapat 453 kasus
kekerasan. Dari 453 kasus, 227 diantaranya merupakan kasus KDRT.
Sebanyak 211 laporan KDRT dilakukan oleh suami terhadap istri dan
anak-anak.
“KDRT di masa pandemi Covid-19 tidak secara tiba-tiba muncul. Hal ini bergantung pada pilar/pondasi yang sudah dibangun oleh sebuah keluarga sebelumnya. Beberapa tekanan psikososial ekonomi selama pandemi Covid-19 yang memicu adanya KDRT, diantaranya mata pencaharian (livelihood) yang menurun drastis, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal dan tidak bisa mengandalkan gaji bulanan, ketidakpastian di masa depan, relasi kuasa (berbasis gender, utamanya antara suami istri), dan keterbatasan ruang pribadi akibat harus berbagi ruang dengan anggota keluarga lainnya selama di rumah saja. Jika keluarga tidak bisa beradaptasi dan berkomunikasi dengan baik, maka semua ini akan memicu emosi negatif dan akhirnya menyebabkan KDRT,” tutur Perwakilan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama, Alissa Wahid.
“KDRT di masa pandemi Covid-19 tidak secara tiba-tiba muncul. Hal ini bergantung pada pilar/pondasi yang sudah dibangun oleh sebuah keluarga sebelumnya. Beberapa tekanan psikososial ekonomi selama pandemi Covid-19 yang memicu adanya KDRT, diantaranya mata pencaharian (livelihood) yang menurun drastis, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal dan tidak bisa mengandalkan gaji bulanan, ketidakpastian di masa depan, relasi kuasa (berbasis gender, utamanya antara suami istri), dan keterbatasan ruang pribadi akibat harus berbagi ruang dengan anggota keluarga lainnya selama di rumah saja. Jika keluarga tidak bisa beradaptasi dan berkomunikasi dengan baik, maka semua ini akan memicu emosi negatif dan akhirnya menyebabkan KDRT,” tutur Perwakilan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama, Alissa Wahid.
Alissa
menambahkan budaya patriarki yang selama ini mengakar di masyarakat
memberi ruang yang sangat besar untuk terjadinya KDRT. Beberapa faktor
lainnya yang selama ini memicu terjadinya KDRT, diantaranya
ketidakmampuan mengelola hubungan yang memberdayakan (ketidakmampuan
mengelola sebuah permasalahan), adanya relasi kuasa, kurang matangnya
pasangan (keseimbangan antara memperjuangkan hak pribadi dengan tenggang
rasa atas hak orang lain), dan kurangnya pembekalan mengelola dinamika
perkawinan. Oleh karenanya, tokoh agama dan organisasi keagamaan harus
turut andil membina para umatnya, termasuk keluarga agar memiliki
pilar/pondasi yang kuat.
“Agama
menolak kekerasan. Kekuatan agama untuk membina keluarga selaras dengan
ketika agama membina umatnya sehingga ini yang menyebabkan tokoh agama
memiliki peran yang sangat besar untuk mendampingi umatnya, termasuk
keluarga. Landasan perkawinan adalah prinsip keadilan, kesalingan, dan
keseimbangan. Jika pondasi tersebut semakin kuat, maka semakin kuat
pilarnya,” tambah Alissa.
Salah
satu anggota FORLAPPA, Anil Dawan mengatakan para tokoh agama dan
lembaga agama mampu berkontribusi dalam pencegahan Covid-19 dan
mendampingi para umat untuk memberikan dukungan psikologis awal.
“Para
tokoh agama sebaiknya memiliki kemampuan untuk memberikan pemahaman
ayat-ayat dalam kitab suci untuk menjelaskan situasi yang terjadi, dalam
hal ini penanggulangan Covid-19 dan nilai-nilai kemanusiaan untuk
kepentingan bersama, membangun ketangguhan umat dalam menghadapi pandemi
Covid-19, serta melakukan sosialisasi pencegahan dan strategi
penanganan Covid-19 dan rujukannya dengan Tim Gugus Tugas. Tokoh agama
juga sebaiknya mampu memahami bahwa jemaat, umat, dan penyintas dapat
mengalami dampak negatif Covid-19. Oleh karena itu, penting untuk
mengaplikasikan Dukungan Psikologis Awal (DPA) dan konseling untuk
kesehatan jiwa/mental. Pendampingan tersebut dapat dilakukan melalui
media online atau virtual,” terang Anil Dawan.
Dalam
memberikan dukungan psikososial, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat
Kemen PPPA, Indra Gunawan mengatakan para tokoh agama dan lembaga
keagamaan dapat bekerjasama dengan unit yang menangani perempuan dan
anak atau Unit PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang
ada di daerah.
“Kami
berharap para tokoh agama dan organisasi keagamaan dapat menjalin
kerjasama atau sinergi dengan Unit PPPA dan lembaga masyarakat lainnya
dalam memberikan dukungan psikososial. Unit PPPA yang sudah terbentuk di
daerah, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan
Anak (UPTD PPA), Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan
dan Anak (Forum PUSPA), Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat
(PATBM), Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan sebagainya,” tutup Indra
Gunawan.
0 Komentar