JAKARTA.SWARAWANIAT NET.-“Dulu saya menganggap sunat perempuan adalah suatu kewajiban yang
harus saya laksanakan. Setelah tahu dari seminar Kemen PPPA dan UNFPA
bahwa P2GP tidak dibolehkan, saya kaget dan menyesal telah melakukan
praktik tersebut. Itu hanyalah tradisi kuno, yang secara medis tidak ada
manfaatnya,”.
Pernyataan diungkapkan Ida Yuliana Alka, perempuan berusia 55 tahun
pada Webinar ‘SWOP 2020: Pencegahan FGM/C (Female Genital Mutilation or
Cutting) atau P2G (Pemotongan dan Perlukaan Genital Perempuan) di
Indonesia’, yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama United Nations Population Fund
(UNFPA) Rabu (15/7). Saat ini Ida mengaku sering memberi edukasi bagi
orang tua dan masyarakat di lingkungannya terutama melalui pengajian
Majelis Taklim karena praktik sunat perempuan menurutnya banyak
dijalankan turun-temurun oleh orang tua.
Menghentikan praktik P2GP atau yang di Indonesia lebih dikenal
sebagai praktik sunat perempuan merupakan tanggung jawab bersama. Sunat
perempuan adalah tindakan berbahaya yang secara eksklusif ditujukan pada
perempuan dan anak perempuan. Praktik sunat perempuan merupakan bentuk
pelanggaran hak asasi manusia sehingga dibutuhkan tindakan cepat untuk
menghentikan sunat perempuan serta praktik-praktik lain yang
membahayakan perempuan dan anak perempuan.
“Pentingnya upaya-upaya pencegahan terhadap praktek-praktek berbahaya
terutama P2GP, menjadi tanggung jawab bersama. Tidak hanya pemerintah
maupun instansi terkait, tapi juga bersama-sama dengan masyarakat dan
seluruh stakeholder harus mengupayakan bersama menghentikan hal ini,”
tutur Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA, Indra Gunawan.
Sejalan dengan penuturan Ida, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian
Kesehatan dr. Erna Mulati menyebutkan jika hasil Riskesdas pada 2013
menemukan 81.3% pemberi saran sunat perempuan adalah orang tua dan
paling banyak dilakukan oleh bidan. Erna menjelaskan jika sunat
perempuan ini merupakan praktik berbahaya dan dari segi kesehatan
menimbulkan berbagai dampak negatif.
“P2GP pada perempuan biasanya tidak menggunakan obat bius sehingga
perempuan dapat mengalami nyeri hebat bahkan perdarahan. Apabila tidak
dirawat dengan baik akan menimbulkan infeksi, pembengkakan, dan sulit
berkemih bahkan dampak psikologisnya memberikan traumatis. Praktik sunat
perempuan oleh tenaga medis profesional tidak dibenarkan,” terang Erna.
Menurut catatan WHO pada 2020, sunat perempuan paling lazim
dipraktikkan terhadap anak perempuan dari usia bayi sampai 15 tahun.
Sunat perempuan dianggap berbahaya terutama karena hal ini merupakan
prosedur yang invasif terhadap jaringan yang sebenarnya sehat dan tanpa
ada kebutuhan medis mencakup pengangkatan seluruh atau sebagian genital
luar perempuan atau perlukaan lainnya. Praktik sunat perempuan bisa
bervariasi, dari menggores dan kauterisasi genital, pengangkatan total
klitoris, hingga menjahit labia menjadi satu untuk membuat bukaan vagina
menjadi lebih kecil.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
Hasto Wardoyo mengakui meskipun sudah sejak lama dilarang, tetapi
praktik sunat perempuan masih ada dan dilakukan oleh masyarakat di
Indonesia. Larangan medikalisasi sunat perempuan juga sudah ditegaskan
Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran Menteri Kesehatan Tahun 2006
yang melarang sunat perempuan oleh tenaga media professional dan juga
oleh Majelis Ulama Indonesia.
"Hal itu juga sangat didukung oleh Fatwa MUI yang melarang khitan
terhadap perempuan. Jenis-jenis FGM ini memang sangat mengerikan ya,
karena pemotongan bagian dari organ perempuan ini sangat membahayakan.
Oleh karena itu tentu kami di BKKBN sangat mendukung agar
praktik-praktik seperti ini betul-betul tidak dilakukan," jelas Hasto.
UNFPA Indonesia representative, Anjali Sen menyatakan jika sunat
perempuan adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang diterima secara
sosial. Hampir di semua konteks, orang tua percaya bahwa praktik ini
dilakukan untuk kebaikan anak perempuan mereka.
“Dalam banyak kasus, orang tua menyadari risiko-risiko fisik dan
psikologis praktik P2GP atau sunat terhadap perempuan tapi tetap
melakukannya demi penerimaan sosial. Praktik berbahaya ini harus dihapus
karena tidak menawarkan manfaat kesehatan, namun mengakibatkan dampak
kesehatan yang cepat dan jangka panjang, dari infeksi hingga disabilitas
seumur hidup,” jelas Anjali.
Menurut laporan Situasi Kependudukan Dunia (SWOP) 2020 yang dirilis
United Nations Population Fund (UNFPA) pada 30 Juni lalu, terdapat dua
ratus juta anak perempuan dan perempuan di dunia saat ini sudah pernah
menjalani sunat. Tahun ini, diperkirakan ada 4,1 juta anak perempuan
yang akan mengalami sunat perempuan dan 68 juta anak perempuan yang
berisiko mengalami sunat perempuan hingga 2030.
Webinar ini merupakan kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dengan UNFPA Indonesia. Webinar
dibuka oleh Menteri PPPA Bintang Puspayoga, UNFPA Representative untuk
Indonesia Anjali Sen, dan Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo. Webinar juga
menghadirkan Assistant Representative UNFPA Indonesia Dr. Melania
Hidayat, Mantan Komisioner Komnas Perempuan K.H. Hussein Muhammad,
Deputi Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA Indra Gunawan, Direktur
Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Dr. Erna Mulati, dan
Presiden IBI Dr. Emi Nurjasmi sebagai pembicara. Dr. Nur Rofiah dari
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebagai moderator.
0 Komentar