Jayapura.Swara Wanita.
Polisi dan
tentara dituduh bertanggung jawab atas kematian 95 warga sipil di Papua selama
8 tahun terakhir. Kematian terjadi di luar prosedur hukum. Lembaga pemantau hak
asasi manusia, Amnesty International, menyebut setidaknya 95 warga sipil di
Papua meninggal dunia akibat tindakan represif kepolisian dan militer sejak
tahun 2010. Salah satu pemicu kematian itu adalah aspirasi politik tentang
kemerdekaan Papua. Namun diduga ada pula sejumlah kematian yang terjadi dalam
penanganan kasus kriminal. 03 Juli 2018.
Kodam
Cenderawasih, institusi militer yang memegang kendali teritorial Papua dan
bermarkas di Jayapura, menyangkal seluruh tuduhan tersebut dan itu adalah
fitnah. Kapendam XVII/Cenderawasi Kolonel Inf Muhammad Aidi menjelaskan.
TNI menganggap
korban jiwa yang selama ini muncul merupakan ekses dari penindakan aksi
separatis. Yang kehilangan nyawa, menurut Aidi bukan hanya anggota kelompok
bersenjata, tapi juga tentara dan polisi.
"Kalau Anda
mengatakan TNI menembaki orang tak berdosa di Papua tanpa sebab dan proses
hukum, itu fitnah. Semua yang terjadi ada sebab, yaitu separatis yang melawan
kedaulatan negara. Itu penyebab utama," tutur Aidi.
Amnesty
International mengklaim mengumpulkan data berbasis wawancara korban luka dan
keluarga yang sanak familinya kehilangan nyawa, itu kan sangat tidak mendasar
dan bersifat sepihak, ujar Aidi. Mereka juga mengajukan keterbukaan informasi
pada Polda Papua serta Kodam Cenderawasih.
Direktur
Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menuding sebagian besar
polisi dan tentara yang terlibat pembunuhan di Papua hanya diganjar sanksi
administratif: dimutasi atau diberhentikan dari kesatuan.
Namun, kata
Usman, belum ada aparat di Papua yang divonis bersalah di pengadilan dan
dihukum penjara.
"Kebanyakan
sanksi disiplin. Tidak ada pemenjaraan yang setimpal, padahal pembunuhan dalam
hukum pidana adalah perbuatan berat. Ada disparitas keadilan," kata Usman.
Usman Hamid
menyebut sebagian pembunuhan warga sipil oleh aparat bermotif balas dendam. Merujuk
laporan Amnesty International, 56 dari total 95 kematian warga sipil di Papua,
dalam periode Januari 2010 hingga Februari 2018, tidak berkaitan dengan
aktivitas politik. Di luar itu, pembunuhan berencana terhadap aktivis
prokemerdekaan Papua juga dituduhkan kepada polisi dan tentara.
Namun faktanya
setiap saat korban laka lalin, korban perang suku dan lalin-lain mereka upload
ke berbagai media bahkan sampai International dengan menuding bahwa itu adalah
korban kekejaman aparat TNI-Polri.
Menurut Aidi
setiap insiden yang terjadi di Papua mereka selalu menyoroti hanya dari akhir
kejadian di mana jatuh korban, tetapi mereka tidak pernah mau jujur mengungkap
proses kejadiannya dan akar permasalahannya, contohnya kasus Paniai Desember
2014 yang selalu mereka gembor-gemborkan hanya menyoroti tentang jatuhnya
korban, tapi tidak pernah dibahas bagaimana ketika ribuan massa bersenjata
panah, tombak, golok bahkan ada yang membawa senjata api menyerang pos aparat
keamanan. Aparat keamanan berusaha membela diri bertindak tegas sehingga
akhirnya harus ada yang jatuh korban.
Akar perseoalan
yang paling hakiki di Papua karena adanya sekelompok orang yang mengangkat
senjata secara Illegal merongrong kedaulatan Negara menuntut merdeka pisah dari
NKRI. Hal ini di Negara hukum manapun di seluruh dunia tidak ada yang
membenarkan adanya pemilikan senjata api apalagi standar militer secara
Illegal. Dan di Negara manapun di seluruh dunia tidak ada suatu pemerintahan
yang mentolelir suatu tindakan makar atau pemberontakan terhadap kedaulatan
Negaranya. Mereka mempersenjatai diri saja secara Illegal itu sudah salah,
tidak dibenarkan oleh hukum manapun. Termasuk kegiatan atau upaya makar melawan
kedaulatan Negara. Tetapi apabila mereka jatuh korban mereka ingin dianggap benar
dan menuntut keadilan atau pembelaan, Aidi menjelaskan.
Kasus lain
sekelompok orang melaksanakan demonstrasi menuntut merdeka pisah NKRI dan
nyata-nyata merongrong kedaulatan Negara, kemudian berhadapan dengan aparat
keamanan TNI/Polri yang pada akhirnya terjadi tindakan anarkis yang
mengakibatkan jatuhnya korban, maka aparat keamanan yang berdiri membela
kedaulatan Negaranya dituding sebagai pelangggar HAM, tetapi mereka yang
melakukan perlawanan terhadap kedaulatan Negara yang sah tidak pernah dipersoalkan
bahkan dilindungi. Kata Aidi menambahkan.
Amnesty
Internasional dalam laporannya sangat tidak berimbang dan terkesan hanya
mencari-cari kesalahan untuk memojokkan pihak aparat keamanan TNI/Polri. Kenapa
mereka tidak membahas tentang kekejaman yang dilakukan oleh pihak KKSB baik
terhadap aparat Negara maupun terhadap warga sipil yang tak berdosa?
Aidi
mencontohkan penembakan sekelompok orang terhadap pesawat di Bandara Kenyam,
Kabupaten Nduga, beberapa hari jelang pemilihan gubernur lalu. Tiga warga sipil
dilaporkan tewas dibunuh kelompok tersebut. Termasuk anak kecil umur 6 tahun
dibacok setelah kedua ibu dan bapaknya ditembak mati di depannya. Pesawat itu
adalah fasilitas umum dan merupakan satu-satunya sarana transportasi masyarakat
di daerah tersebut yang masih terisolasi namun mereka tembaki. Sehari
setelah perayaan Idul fitri yang lalu aparat TNI yang melaksanakan patroli
untuk memastikan pelaksanaan Ibadah Idul Fitri berjalan hikmad dan aman juga di
serang yang mengakibatkan 5 orang Prajurit TNI luka Parah.
Aidi juga
menyebut hilangnya dua anggota polisi di Distrik Torere, Kabupaten Puncak, saat
mengawala logistik pilkada pekan lalu. Kepala Distrik orang asli Papua dan
seorang pendeta tidak luput mati tertembak oleh KKSB.
"Kami
justru jadi korban. Kami bertindak berdasarkan kaidah dan kode etik, serta UU
yang berlaku sementara mereka bertindak seenaknya saja tampa norma dan aturan,
mereka tak mengenal combatan dan non combatan, warga sipil bahkan anak kecilpun
dibantai tampa ampun,” Kata Aidi.
"Semua
pelanggaran prosedur dianggap pelanggaran, padahal personel kami membela
diri." Kata Aidi.
Termasuk
kekerasan terhadap pekerja jalan bekerja untuk membangun infrastruktur guna
membuka isolasi wilayah pedalaman Papua beberapa orang personel PT. Modern di
Sinak Kabupaten Puncak ditembak mati dan alat berat dibakar, karyawan PT. PP di
Nduga Almahrum Vicky Sondak tewas di bantai dan senjata milik TNI dirampas
setelah terlebih dahulu Prajuritnya dianiaya.
Kasus lainnya
pada bulan Desember tahun lalu, KKSB menyandera 1300 warga sipil di Utikini
Tembagapura kompleks. Membakar fasilitas Rumah Sakit, gedung sekolah dan dan
puluhan rumah warga. Bukankah ini pelanggaran HAM berat? Mereka selalu menuntut
merdeka tetapi sebaliknya mereka yang merampas hak dan kemerdekaan warga lain.
Aparat keamanan TNI/Polri melaksanakan operasi pembebasan sandera dengan
berusaha menghindari jatuhnya korban. Kami bisa saja melaksanakan operasi
pengejaran secara besar-besaran dengan mengerahkan pesawat tempur, Hellycopter
serang dan persenjataan serta kekuatan lain, tetapi TNI tidak melakukan itu
karena kami menjunjung tinggi norma dan aturan yang berlaku.
Kodam
Cenderawasih yang kini dipimpin Mayjen George Elnadus Supit, mengklaim bahwa
dalam penanggulangan terhadap gangguan- gangguan keamanan di Papua Kami
cenderung bersifat pasif dan mengedepankan pendekatan teritorial. Alasannya,
Papua berstatus tertib sipil sama dengan di daerah lain di seluruh wilayah
Indonesia, Papua bukan daerah operasi militer.
"Kami tidak
mengejar, diserang baru membalas. Kami berupaya agar tidak muncul korban, kami
tetap melaksanakan pendekatan Teritorial dan kesejahteraan Rakyat,” kata Aidi.
Otentikasi
Kapendam XVII/Cenderawasih
Kolonel Inf
Muhammad Aidi
0 Komentar